Selasa, Februari 08, 2011

Cape Deh....

Belum lagi selesai dengan pengurusan Ijin Domisili Perusahaan di kelurahan, aku harus segera menyelesaikan urusan NPWP yang sangat mendesak ke Kantor Pelayanan Pajak Karees dan Sumedang di Kiaracondong untuk persyaratan pembukaan rekening baru perusahaan di bank dan juga salah satu syarat ijin domisili di kelurahan yang menyusul.
NPWP yang saya buat yaitu untuk pribadi/badan dan perusahaan/cv. Persyaratan NPWP Pribadi cukup dengan fotokopi KTP sedangkan untuk NPWP Perusahaan yaitu KTP Pimpinan, NPWP Pribadi, Salinan Akte Pendirian dan Ijin Domisili. Karena syarat-syarat tersebut belum cukup terpenuhi karena belum ada Ijin Domisili yang masih diurus, terpaksa hari ini ke KPP hanya mengambil blangko isiannya saja dan itupun didapat dari petugas sekuriti yang merangkap penerangan.
Dari kelurahan dibuatkan blangko isian untuk Ijin Tetangga (bukannya dari kemarin pikirku, sekalian dengan Surat Serba Guna-nya) dan sorenya langsung ke tetangga dan ketua RT, sedang ke ketua RW dijadwalkan besok pagi jam 08:00. Mudah-mudahan besok segalanya beres untuk segera kembali ke Kelurahan, KPP dan bank menyelesaikan tugasku sebagai Pimpinan Perusahaan yang babak belur. Cape deh……
Besoknya setelah ke Ketua RW dulu langsung ke Kelurahan, sepertinya syarat-syarat Ijin Domisiliku masih juga belum kelar dan ada lagi kekurangan, katanya karena yang menandatangani adalah Ibu pemilik rumah bukan nama yang tercantum di sertifikat, maka harus ada surat nikah dari ibu. Masya Allah pikirku…ada ada saja birokrasi kelurahan ini. Setelah saya mendesak petugas kelurahan kalau syarat itu bisa menyusul, akhirnya surat ijin domisili pun dibuatkan, dengan ditandatangani pak Lurah yang terang-terangan meminta uang sumbangan sukarela minimal Rp 200.000 (itu sih bukan sukarela, kalau tetap ditarif).
Saya masukan selembar seratusan kedalam amplop, tetapi karena pak Lurah keukeuh kalau jumlah itu tidak bisa kurang, akhirnya kukeluarkan lagi selembar 50ribuan….nampaknya Pak Lurah sewot dan mengembalikan semuanya. “Sudahlah kalau tidak ridho, saya juga jadi gak enak, silakan berikan saja ke petugas yang ngetik”,timpalnya dengan nada kesal. 50ribuan kumasukan lagi ke saku sedangkan yang 100ribuan tetap kutinggalkan di mejanya. “Ya sudah…”, pikirku sambil membawa berkas yang sudah ditandatanganinya.Di kelurahan sudah keluar 150ribu, belum di kecamatan…berapa lagi yang harus kukeluarkan ? jawabnya sama 200ribu, pantesan pengurusan ribet kayak begini lebih banyak diserahkan pengurusannya ke calo, pikirku gemes.
Astaga, di kecamatan ternyata aku harus menundanya beberapa hari sampai Selasa depan karena Ibu Lurah sedang ke luar kota. Lagipula pengantar dan syarat yang asli harus dilampirkan kembali. Yah…terpaksa aku balik lagi ke kelurahan mengambil berkas yang asli untuk difoto kopi,…kenapa hal-hal semacam begini tidak diberitahukan sebelumnya oleh pihak kelurahan beserta jaringannya sehingga masyarakat tidak merasa dipermainkan, apalagi seperti aku yang baru pertama kali mengurus dokumen semacan ini. Apa yang dirasakan rakyat kecil kalau tiba-tiba harus bolak-balik mengurus semacan ini, masih mendingan aku punya motor yang siap siaga sehingga bisa cepat meski enegi banyak terbuang percuma, biarpun menuju ke Kelurahan dan Kecamatan harus dengan jalan berkeliling jauh karena satu arah. Mungkin inilah yang tidak disadari para birokrat pemerintahan yang membuat peraturan hanya sepihak tanpa memikirkan efisiensi kerja dan waktu hanya berdalih kepada ketertiban administrasi, yang sebenarnya berkesan tidak tertib.

Tidak ada komentar: