Minggu, Januari 23, 2011

Kembali Ke Garuda Dalam

Ternyata, sepeninggal dari Pasundan bapak telah mendapatkan rumah dinas DKA (sekarang PT.KAI) di bilangan Jalan Garuda Dalam I No.27, meskipun kondisinya waktu itu menyeramkan tetapi sepertinya ibuku dan anak-anak sangat berkesan karena mempunyai halaman yang luas dan air ledeng yang sangat berlimpah. Tentu saja rumah masih belum banyak terisi perabotan karena dari Pasundan hanya lemari, meja dan kursi saja yang punya. Meski dengan kesederhanaan saat itu, keluargaku masih tergolong berkecukupan 


Sungguh miris memang kalau mengingat masa itu, segala kebutuhan dan keinginanku sulit sekali didapat berlebihan. Kalau pun ada, kami mesti membagi dengan seluruh saudara-saudaraku, untunglah saat itu kami semua tidak pernah terlalu menuntut suatu keinginan, asalkan kebutuhan sekolah dan ongkos sehari-hari terpenuhi. Inilah mungkin pelajaran bagiku untuk dapat menerima apa adanya dan mengerti kesulitan ekonomi orang tua.
Bapak kadang-kadang mendapatkan proyek membuat spanduk dari kantornya, seperti biasa sehabis acara selesai bapak membawa pulang kembali spanduk tersebut untuk direndam di air panas agar kertas tempelannya gampang dilepas kemudian kainnya bisa dimanfaatkan kembali untuk bahan pakaian anak-anak sehari-hari.
Suasana di luar rumah saat itu sangat menyenangkan, sesuatu yang tidak pernah diperoleh sewaktu tinggal di Pasundan, maklum tempat tinggal kami masih termasuk di kawasan pinggiran kota. Dari arah Barat dan Utara masih banyak terhampar pesawahan yang masih luas sehingga pasukan burung pipit, burung gereja masih banyak berterbangan di pagi hari yang masih berkabut tebal. Sungguh beruntung bapak mendapatkan rumah ini, lingkungannya masih asri dan segar, halaman depan dan samping rumah banyak ditumbuhi pohon buah-buahan, dari 4 jenis jambu batu, jambu air, pisang, mangga gedong gincu, pohon waru, sirsak, alpukat, jeruk bali sampai petai cina, belum lagi tanaman perdu sebagai pagar hidup seperti beluntas, daun mangkokan sampai bunga-bungaan.

Emih memanfaatkan halaman ini dengan memelihara ayam kampung, dari 1 ekor hingga mencapai 40 ekor, aku dan saudaraku sering memberikan pakan tambahan seperti capung dan ulat pisang sehingga ayam-ayam kami tumbuh besar dan sehat-sehat.
Menjelang maghrib disuguhi pemandangan yang menakjubkan, serombongan kelelawar terbang serentak dari arah barat menuju timur seiring dengan tenggelamnya mentari di ufuk barat.
Tak terasa waktu itu aku naik ke kelas 3 SD dan kakakku masuk kelas 5, itu berarti setahun sudah aku bolak balik pergi sekolah dari Garuda ke Kebon Kalapa, sebenarnya deket rumah kami ada sekolah swasta yang cukup bagus, tetapi karena sudah tanggung aku teruskan saja. Entah karena alasan ekonomi, yang pasti dengan status pegawai kereta-api bapak bisa saja mendapatkan potongan khusus di SD yang dikelola oleh yayasan kereta-api.
Aku dan kakakku tetap di sekolah negeri, biarpun harus menempuh perjalanan cukup jauh dari Garuda ke Keb.Kalapa. Menggunakan Honda (sekarang angkot) jurusan Cimahi-Kebon Kalapa, cukup ongkos berdua Rp 20,- sudah sampai di sekolah, begitupun sebaliknya.. Dengan sisa uang Rp 10,- sebagai bekal berdua tidaklah cukup memadai untuk membeli makanan yang mahal, kue bandros depan sekolahku saja harganya Rp 15,-, paling-paling pergi ke kantin beli kerupuk yang harganya Rp 5,- sudah cukup. Paling-paling kami berdua menyiasatinya dengan pulang berjalan kaki sehingga besoknya punya uang lebih untuk jajan.
Jarak rumah ke sekolahku kurang lebih 8 km, itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 1 jam, mulai dari sekolah di Jl. Mohammad Toha, Jl.Pungkur, Jl.Astana Anyar, Jl.Cibadak tembus ke Jl.Jend.Sudirman, lurus sampai Jl.Garuda. Bandung saat itu tidak seramai sekarang, angkot jurusan Cimahi-Keb.Kalapa, pun tidak banyak. Jenis mobil angkot Honda TN7 atau Oplet masih berseliweran menarik penumpang dan sebagian lagi jenis Bemo kearah Ciroyom sebagai alternative pilihan.

Tidak ada komentar: