Minggu, Desember 26, 2010

Masa Kecil di Garuda Dalam

Dari kecil keluarga kami berada dalam lingkungan budaya Jawa, bagaimana tidak, meskipun tinggal di Bandung keluargaku berada dalam lingkungan Jawa, Bapak asli Grantung, Purworejo, pernah tinggal dekat dengan mBah Paimo (Bulek/Paklek Bapak) yang sangat kuat memegang budaya kejawennya.

Bapak memang asli orang Jawa, budayanya sangat kental, bahasa pengantar sehari-hari tentunya bahasa Jawa bila bergaul dengan orang jawa namun acapkali bapak tidak terlihat seperti orang Jawa, bahasa Sundanya pun lancar dan penampilannya yang putih sungguh tidak akan menyangka kalau dia orang Jawa, bahkan kadang-kadang sebagian orang menganggapnya sebagai orang Tiong-Hoa.
 Yang namanya budaya Jawa, tentu tidak akan lepas dari hal-hal yang berbau mistik atau kepercayaan kejawen, demikian juga kepercayaan yang terbawa bapakku dalam keluargaku. Pernah suatu waktu kakak-ku protes, buat apa bapak menyediakan secangkir kopi hitam, rokok kretek dan makanan kecil dalam baki di pojok kamarnya, tentunya waktu itu kakak-ku yang baru kelas 6 SD sudah mulai mengerti hal tersebut kalau hal tersebut terasa janggal dan tidak masuk akal, tapi bapak tidak marah dan hanya menjelaskan kalau sesaji itu hanyalah untuk menghormati nenek moyang kita. Kakak-ku sepertinya tidak menerima dan tidak mau mengerti penjelasan bapak, sampai suatu ketika diam-diam ia mengajakku meminum kopi yang disediakan bapak untuk sesajian di pojok kamar depan sambil bercanda kalau kopinya sudah diminum oleh Mbah dan bapak pun sepertinya mengerti apa yang dilakukan anak-anaknya, begitu juga Emih hanya terdiam, takut kalau bapak akan marah.
Aku baru sadar kalau Mbah Paimo pun ternyata menyimpan sesuatu yang mistik dan tidak boleh dimasuki anak-anak di salah satu kamar rumahnya. Ia pernah melarangku bermain-main masuk ke kamarnya. Menurut cerita dari anak-anaknya si Mbah sengaja membuat sesajen dan setiap malam Jumat Kliwon wajib memandikan keris pusakanya, katanya sih untuk menolak bala. Belakangan diketahui dari Emih kalau keris pusakanya itu sempat dibakar Oom Ali menantunya sendiri seorang  perwira polisi dan asli orang Aceh.
Bapak memang bukan seorang yang terlalu paham akan Islam, meski begitu ia seorang yang sangat memegang prinsip-prinsip kebenaran dan keyakinan tanpa memaksakan kehendak pribadi, seolah bapak tetap mengikuti kehidupan ini bak air mengalir, mungkin ini masih memegang prinsip si Mbah yang "Nrimo". Dibalik sifat yang 'nrimo' ini bapak ternyata masih memendam sebuah obsesi yang tentunya dijadikan motivasi dalam mendidik anak-anaknya untuk tetap bisa bertahan demi mendapatkan serta mengenyam bangku pendidikan formal di sekolah yang lebih baik.
Motivasi itulah yang mendorong bapak untuk berusaha semampunya dalam menyekolahkan anak-anaknya, tentunya dengan menyediakan gizi makanan yang cukup, bapak sangat peduli akan hal itu.

Tidak ada komentar: