Minggu, Mei 08, 2011

Bioskop Bandung Tempo Doeloe

Kembali melongok suasana Kota Bandung ke jaman dahoeloe, terkadang kita tercengang akan suasananya yang belum hingar bingardan semrawut seperti sekarang. Yang muncul malah rasa rindu dan menyayangkanperubahan yang begitu ekstrim terjadi.

Alun-alun Bandung
Alun-alun Bandung dengan latar Mesjid Agung dan Hotel Swarha menjadi saksi sejarah berdirinya klub sepakbola Persib Bandung yang dahulu masih bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.


Pertigaan Asia-Afrika dan Braga
Dahulu bernama Grothe Postweg dan Bragaweg merupakan pusat keramaian bergaya Eropa yang sangat terkenal ke penjuru dunia, arsitektur bangunannya masih belum banyak berubah sampai saat ini.



Film dan bioskop muncul pertama kali pada dekade-dekade awal abad ke-20, yang merupakan ikon modern dari seni hiburan. Tak lama dari proses pengenalannya, bioskop kemudian segera merambah ke segenap penjuru dunia, mengisi waktu luang orang-orang kota saat itu. Ikon modernitas hiburan tersebut kemudian sampai di salah satu kota yang kita kenal punya segudang kreatifitas, Bandung, 100 tahun lalu, sekitar tahun 1907.

Saat itu dua bioskop pertama berdiri di Alun-alun Bandung dalam bangunan tenda semi permanen yang cukup besar. Bioskop-bioskop tersebut adalah 'De Crown Bioscoop' milik seorang bernama Helant dan 'Oranje Electro Bioscoop' milik Michel.

Pertunjukan perdana bioskop-bioskop tersebut berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan. De Crown Bioscoop adalah yang tampil lebih dulu. Oranje Electro Bioscoop menyusul tepat seminggu kemudian dengan pertunjukan perdananya pada Sabtu malam, 1 Desember 1907.

Tenda-tenda bioskop tersebut dihias sedemikian rupa dengan dekorasi bendera dan umbul-umbul. Pada salah satu sisi bagian dalam tenda terpampang sebuah layar besar di mana gambar diproyeksikan. Sisi-sisi lainnya ditempeli poster-poster film unggulan yang akan diputar. Lantai tenda tersebut dilapisi vloer dan alas semacam tikar. Walau sarana pertunjukan film terbilang masih sederhana, tenda bioskop ini tampil cukup menghebohkan untuk ukuran seabad lalu.

Saat itu film yang diputar tentu masih bisu. Oleh karena itu, Michel sang pemilik bioskop menyediakan sebuah orgel-elektrik yang besar sebagai instrumen pengiring gambar-gambar bisu yang ditampilkan. Pertunjukan film dimulai pukul tujuh malam. Namun, beberapa waktu sebelumnya, suara musik dari orgel Oranje Electro Bioscoop telah terdengar meramaikan atmosfer alun-alun. Musik dari orgel tersebut segera menarik perhatian publik untuk datang ke Oranje Electro Bioscoop.


Ruang pertunjukan di bioskop zaman itu dibagi menjadi beberapa kelas dengan harga karcis yang bervariasi. Karcis kelas I yang dijual lebih mahal tentu, diperuntukkan bagi orang Eropa atau mungkin pribumi dari kalangan menak, kelas II, untuk kalangan Timur asing dan pribumi dari kalangan menengah, dan kelas III atau IV untuk kalangan menengah bawah. Pilihan lain untuk menonton film dengan tarif jauh lebih murah adalah di 'feesterrein' (taman hiburan rakyat).Bagi Anda yang dating dari luar Bandung bisa datang ke tempat ini menggunakan jasa car rental Bandung. Karena dengan car rental Bandung Anda bisa lebih nyaman daripada angkutan umum, kecuali kalau mempunyai kendaraan sendiri.

Preanger Theatre (Sekarang Hotel Grand Preanger)
Bioskop Varia/Nusantara
Bioscoop Appolo (sekarang menjadi gudang Dipo Induk Stasiun Timur)


Bioscoop Oriental/Aneka
 

Bioscoop Elita/Puspita, terletak di sebelah selatan Alun-alun, di akhir tahun 70'an dibongkar menjadi Gedung pertokoan Miramar yang rusak terbengkalai sampai sekarang. 
Dengan gaya arsitektur Art-Deco nya yang khas, 
dahulu merupakan bioskop paling terkenal elit, sesuai dengan namanya.

Bioskop Dian, sekarang menjadi Dian Futsal 
Bioskop Di Bandung, Tinggal Kenangan...
 Ada banyak alasan orang nonton fim layar lebar di bioskop, sekedar jalan-jalan mengajak pacar, hobi, melepas penat, atau mencari pacar. Lebih jauh mungkin untuk menambah pengetahuan serta memetik pelajaran hidup dari alur cerita dalam fim.
Tapi pernahkah anda tahu kapan bioskop ada di tanah air atau wabilkhusus di kota Bandung?, dalam buku ”100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000)" disebutkan, sejarah bioskop dimulai tahun 1895, ketika seoang ahli elektronika Inggris Robert Paul mendemonstrasikan kepada masyarakat di London mengenai kemampuan proyektor film. Dan film masuk ke Hindia Belanda (Batavia, sekarang Jakarta) dibawa oleh  Belanda yang ingin menengok saudara-saudaranya yang tinggal di Indonesia ahun 1020-an.
Hampir sepuluhtahun kemudian lahirlah fenomena layar tancap, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota (Beos), di Bandung pada tahun tahun 1936 mucul bioskop misbar (jika hujan gerimis, penonton bubar) seperti Taman Hiburan di daerah Cicadas, Suryani Pagarsih, dan Jamika. Pada tahun itu di Indonesia ada 225 bioskop dengan rincian di Bandung ada 9 bioskop, Jakarta 13, Surabaya 14, dan Yogyakarta 6. dalam buku ini disebutkan, masa pendudukan Jepang jumlah bioskop menurun tajam, dan kembali ramai pada pasca kemerdekaan.
Di Bandung sendiri pada tahun 1970-an ada sekitar 30 gedung bioskop dari mulai kelas bawah hingga kelas elite. Bioskop kelas elite tedapat di  Alun-alun Kota Bandung seperti Elita (Puspita), Aneka (Oriental), Nusantara (Varia), Dian (Radio City), di Jalan Braga ada Majestic (Dewi), Braga Sky, Presiden, Pop dll. Gedung gedung bioskop itu kini sudah tidak ada, kecuali Nusantara (yang saat ini terancam dibongkar).
Bioskop Dian kini jadi lapangan Futsal, Majestik menjadi gedung AACC, selebihnya sudah jadi pertokoan, diskotik dan gedung Bank. Sejumlah biskop di Jalan Kebon Jati seperti Orion, Luxor, dan Nirmala yang dibangun sejak zaman kolonial milik Boosje, kini sudah jadi hotel dan diskotik. Di kawasan Pecinan (depan Pasar Baru) muncul Roxy Theater, Oranje Bioscoop, dan Oranje Park. Sementara di wilayah timur muncul Rivoli Theater di Kosambi, Bandung Theater, dan bioskop yang kini menjadi gedung kesenian Rumentag Siang dan Liberty Bioscoop di Cicadas yang kini entah menjadi apa, Taman Hiburan Cicadas jadi begnkel, bioskop Jamika jadi rumah, bioskop Suryani menjadi kantor sebuah dealer mobil.
Bioskop-bioskop di Bandung mengalami kemajuan pada tahun 1930-an, saat itu gedung-gedung bioskop baru yang megah dengan arsitektur yang khas, lengkap dengan fasilitas mutakhir, gencar didirikan oleh F.F.A. Buse, seorang pengusaha bioskop grup  Elita Consern, bioskop Elita Biograph yang didirikan di alun-alun Bandung dikenal sebagai salah satu dari dua bioskop terbaik di negeri ini saat itu.
                Sejak akhir tahun 1990-an atau awal tahun 2000, muncul fenomena konsep bioskop 21 (minim penonton), bioskop yang dulu kapasitasnya mencapai 100 orang mulai lenyap. Nama bioskop oleh anak-anak sekarang mungkin hanya sekedar kata tanpa ada fisiknya. Jika masih ada yang bernama bioskop, biasanya berada dalam pusat-pusat belanja seperti Paris van Java Sukajadi, BSM dll, itupun dengan jumlah penonton yang mengkawatirkan, sebuah bioskop zaman sekarang akan penuh hanya lantaran advertising atau propaganda film baru. Orang lebih memilih memutar VCD/DVD di rumah. Fisik sebuah bioskop tak terlihat lagi, menyelinap di sela-sela mall, plaza dan  square.
                Pentingkah kehadiran sebuah bioskop di kota?, jawabannya bisa ya bisa tidak. Tidak penting jika bioskop hanya pelengkap penderita dari hiruk pikuk informasi televisi, tapi bisa penting jika dalam rangka pelestarian dan pengembangan perfilman tanah air. Tapi masihkah harus ada bioskop yang bisa dikunjungi rakyat kelas ekonomi bawah?, sehingga mereka bisa berteriak atau tepuk tangan saat bogalalakon dalam cerita film terancam oleh penjahat?
                Ah...jika sekedar penanda sebuah kota, menarik juga utuk dipikirkan. 
Oleh Matdon
(SEPUTAR INDONESIA Kamis 26 JUNI 2008)

3 komentar:

Trihari Widodo mengatakan...

Waas euy...!

Unknown mengatakan...

Thanks infonya Min :)

mengunjungi Kota Tua Bandung seperti merasakan nuansa tempo dulu..

Bagi agan-agan juga bisa melihat Jalan Braga dengan foto virtual. lihat di sini:

http://indonesiavirtual.com/index.php?option=com_jumi&fileid=11&Itemid=109&id_img=90

Salam Kenal.

Unknown mengatakan...

Mantak wararaas..kalau melihat foto2 jaman dulu dg suasana yg aman dan tenang tdk semrawut spt sekarang hingga orang2 dulu pd sehat2.