Entah hobby atau kesenangan dari mana yang saya dapatkan, yang jelas bapak saya dulu sering bawa-bawa kamera manual meski menurut saya saat itu terbilang canggih. Bapak biasanya bawa kamera inventaris kantornya bila akan dinas bepergian ke luar kota, kalau gak salah mereknya waktu itu Nikon atau Olympus, memakai film Agfa/Fuji/Kodak yang masih hitam putih, dengan ASA100. Hal tersebut sangat melekat dalam benakku.
Dengan melihat bapakku memasang film saat itu ternyata sangat menarik perhatianku, dari menarik ujung film, menyangkutkannya ke jalur rel, menutup, mengokangnya dan membidikan jepretan pertamanya. Saya kagum dengan benda yang satu ini. Bapak saya pun memasukannya ke dalam tas dan saya kebagian selongsong filmnya.
Itulah mungkin latar belakang pertama kalinya saya mengenal apa itu yang namanya kamera.
Kamera ternyata memang barang mewah yang tidak dapat semua orang miliki, selain harganya mahal, hanya orang tertentu sajalah yang memiliki bakat seni yang tertarik untuk memiliki benda ini.
Saya menyadari kalau untuk memiliki benda ini adalah hanya angan-angan semata, sementara seiring berjalannya waktu teknologi kamera semakin berkembang.
Saya semakin tertarik untuk mendalami perihal fotografi, apalagi kakakku ternyata memiliki keinginan yang sama dengan angan-anganku, jadi sedikit-sedikit kuketahui dari buku-buku fotografi yang sengaja dibeli kakak dari emperan Cikapundung. Saat itu ada teori dasar foto yang dijelaskan secara gamblang oleh salah satu pengurus majalah mingguan tersebut yaitu RM.Soelarko salah satu wartawan foto senior saat itu
Maka perbendaharaan istilah fotografi pun sedikit bertambah dengan apa yang dinamakan kecepatan rana, bukaan diafragma, f-stop, makro, uv filter, wide angle, depth of field
Pucuk dicinta, ulampun tiba, tanpa diduga bapak membelikan kami kamera yang pada tahun 80’an bisa dibilang canggih untuk ukuran pemula saperti saya ini.
Kamera bermerk Ricoh KR-5 dilengkapi Lampu Blitz dan kaki penyangga Tripod tentunya sangat kami banggakan untuk mempraktekkan segala teori yang secara otodidak kami dapatkan dari tulisan-tulisan. Hasilnya memang tidak dapat dipungkiri, meski waktu itu masih menggunakan roll film selulosa namun sudah berwarna dan kepekaan ASA sudah mencapai 1600 bahkan lebih.
Masa-masa SMA dikala senang-senangnya kumpul-kumpul tentunya tidak pernah terlepaskan dari kamera kebaggaanku yang satu ini. Teknik depth of field didapatkan dengan ketajaman yang diinginkan. Maka beberapa event sekolahpun tidak ada yang luput untuk diabadikan.
Tiga belas tahun berlalu kamera Ricoh KR-5 yang menjadi kojo mengalami penjamuran pada lensanya, meskipun jendela bidik sudah buram dan berkabut saya masih bisa memakainya mengabadikan kelahiran anak-anakku sampai mereka berumur 3 tahun dengan hasil yang memuaskan, meskipun pada saat itu biaya Cuci Cetak sudah sangat mahal.
Adikku yang berprofesi wartawanpun masih memakainya untuk liputan tertentu. Namun sayang, niatnya membersihkan lensa di salah satu jasa pemoles lensa ternyata dipoles bersih sampai dengan kamera-kameranya raib entah kemana.
Oh..KR-5 ku yang penuh kenangan, dimanakah dirimu ?
Kekosongan kegiatan potret-memotret dariku untungnya masih terobati dari saudara-saudaraku yang lebih dulu memiliki kamera pengganti. Jadi di setiap sesi Lebaran minimal ada foto-foto yang merekan kenangan dari sejak masih hadirnya bapak sampai lahirnya cucu eyang yang paling bontot.
Di tengah kekosongan itu sempat kumiliki Kamera Digital pertama meskipun harus susah-susah mencicil setiap bulan dari sebuah gerai di mall. Dengan pertimbangan permintaan anak-anak untuk menghadapi acara perpisahan sekolah dasar waktu itu, mungkin akan sama dengan apa yang saya inginkan waktu dulu, akhirnya kupilih merek terkenal, meskipun sebenarnya lebih terkenal akan produk audio videonya yaitu Sony DSC-S60, 4,1 Mpixel, Lensa Vario Tesar dengan batere yang bisa di re-charge atau ukuran AA Alkaline. Sudah lebih dari cukup untuk ukuran High Resolution di kelas kamera saku saat itu. Maka mobilitasnya pun lebih banyak dibawa anak-anakku yang mulai menginjak remaja.
Jepret sana jepret sini, dan “Krrreeeek….!” lensa mandeg tidak bisa masuk ke rumahnya dalam posisi off. Lensa tetap nongol dan menceng seperti keluar jalurnya. Kutanyakan ke beberapa toko kamera barangkali ada yang bisa memperbaikinya meskipun harus diakalin, semuanya menggelengkan kepala, sambil berujar “Mending beli lagi yang baru pak….dari pada biaya reparasinya gak jauh beda “. “Iya sih, justru saya tidak mampu beli lagi yang baru”, dalam hatiku dongkol.
Anak-anakku terlihat kecewa tapi mengerti kondisi keuangan orang tuanya tanpa minta beli lagi yang baru. Untungnya sewaktu dibelikan ponsel berkamera sejak SMA keinginan akan kamera saku terpuaskan.
Akhirnya keinginan memiliki Kamera canggih yang diidam-idamkan saya sejak dulu dan juga sekarang anakku terkabulkan.
Mereknya tidak disangsikan lagi meskipun menurut literature merupakan kamera kelas pemula, tapi menurutku bagaimana orang yang menanganinya.
Kamera Digital DSLR pertamaku adalah Canon EOS 1100D termasuk yang baru muncul meskipun secara spesifikasi masih di bawah jenis kelas professional, inilah mungkin yang menjadikannya kelas pemula, tentu saja harganya pun jauh beda.
Yang jelas dengan kamera ini kemampuan kita untuk mengasah teknik foto lebih terpuaskan dengan berbagai fitur yang variatif. Kita dapat mengasah ketajaman seni foto kita lewat mode manual atau sekedar asal jadi dan bagus dengan mode otomatis.
Namun dari semua itu, tentunya belajar dari tehnik kamera manual sampai digital memiliki tantangan dan kelebihan masing-masing dan masih merupakan karya seni foto yang tinggi.
Dengan melihat bapakku memasang film saat itu ternyata sangat menarik perhatianku, dari menarik ujung film, menyangkutkannya ke jalur rel, menutup, mengokangnya dan membidikan jepretan pertamanya. Saya kagum dengan benda yang satu ini. Bapak saya pun memasukannya ke dalam tas dan saya kebagian selongsong filmnya.
Itulah mungkin latar belakang pertama kalinya saya mengenal apa itu yang namanya kamera.
Kamera ternyata memang barang mewah yang tidak dapat semua orang miliki, selain harganya mahal, hanya orang tertentu sajalah yang memiliki bakat seni yang tertarik untuk memiliki benda ini.
Saya menyadari kalau untuk memiliki benda ini adalah hanya angan-angan semata, sementara seiring berjalannya waktu teknologi kamera semakin berkembang.
Saya semakin tertarik untuk mendalami perihal fotografi, apalagi kakakku ternyata memiliki keinginan yang sama dengan angan-anganku, jadi sedikit-sedikit kuketahui dari buku-buku fotografi yang sengaja dibeli kakak dari emperan Cikapundung. Saat itu ada teori dasar foto yang dijelaskan secara gamblang oleh salah satu pengurus majalah mingguan tersebut yaitu RM.Soelarko salah satu wartawan foto senior saat itu
Maka perbendaharaan istilah fotografi pun sedikit bertambah dengan apa yang dinamakan kecepatan rana, bukaan diafragma, f-stop, makro, uv filter, wide angle, depth of field
Pucuk dicinta, ulampun tiba, tanpa diduga bapak membelikan kami kamera yang pada tahun 80’an bisa dibilang canggih untuk ukuran pemula saperti saya ini.
Kamera bermerk Ricoh KR-5 dilengkapi Lampu Blitz dan kaki penyangga Tripod tentunya sangat kami banggakan untuk mempraktekkan segala teori yang secara otodidak kami dapatkan dari tulisan-tulisan. Hasilnya memang tidak dapat dipungkiri, meski waktu itu masih menggunakan roll film selulosa namun sudah berwarna dan kepekaan ASA sudah mencapai 1600 bahkan lebih.
Masa-masa SMA dikala senang-senangnya kumpul-kumpul tentunya tidak pernah terlepaskan dari kamera kebaggaanku yang satu ini. Teknik depth of field didapatkan dengan ketajaman yang diinginkan. Maka beberapa event sekolahpun tidak ada yang luput untuk diabadikan.
Tiga belas tahun berlalu kamera Ricoh KR-5 yang menjadi kojo mengalami penjamuran pada lensanya, meskipun jendela bidik sudah buram dan berkabut saya masih bisa memakainya mengabadikan kelahiran anak-anakku sampai mereka berumur 3 tahun dengan hasil yang memuaskan, meskipun pada saat itu biaya Cuci Cetak sudah sangat mahal.
Adikku yang berprofesi wartawanpun masih memakainya untuk liputan tertentu. Namun sayang, niatnya membersihkan lensa di salah satu jasa pemoles lensa ternyata dipoles bersih sampai dengan kamera-kameranya raib entah kemana.
Oh..KR-5 ku yang penuh kenangan, dimanakah dirimu ?
Kekosongan kegiatan potret-memotret dariku untungnya masih terobati dari saudara-saudaraku yang lebih dulu memiliki kamera pengganti. Jadi di setiap sesi Lebaran minimal ada foto-foto yang merekan kenangan dari sejak masih hadirnya bapak sampai lahirnya cucu eyang yang paling bontot.
Di tengah kekosongan itu sempat kumiliki Kamera Digital pertama meskipun harus susah-susah mencicil setiap bulan dari sebuah gerai di mall. Dengan pertimbangan permintaan anak-anak untuk menghadapi acara perpisahan sekolah dasar waktu itu, mungkin akan sama dengan apa yang saya inginkan waktu dulu, akhirnya kupilih merek terkenal, meskipun sebenarnya lebih terkenal akan produk audio videonya yaitu Sony DSC-S60, 4,1 Mpixel, Lensa Vario Tesar dengan batere yang bisa di re-charge atau ukuran AA Alkaline. Sudah lebih dari cukup untuk ukuran High Resolution di kelas kamera saku saat itu. Maka mobilitasnya pun lebih banyak dibawa anak-anakku yang mulai menginjak remaja.
Jepret sana jepret sini, dan “Krrreeeek….!” lensa mandeg tidak bisa masuk ke rumahnya dalam posisi off. Lensa tetap nongol dan menceng seperti keluar jalurnya. Kutanyakan ke beberapa toko kamera barangkali ada yang bisa memperbaikinya meskipun harus diakalin, semuanya menggelengkan kepala, sambil berujar “Mending beli lagi yang baru pak….dari pada biaya reparasinya gak jauh beda “. “Iya sih, justru saya tidak mampu beli lagi yang baru”, dalam hatiku dongkol.
Anak-anakku terlihat kecewa tapi mengerti kondisi keuangan orang tuanya tanpa minta beli lagi yang baru. Untungnya sewaktu dibelikan ponsel berkamera sejak SMA keinginan akan kamera saku terpuaskan.
Akhirnya keinginan memiliki Kamera canggih yang diidam-idamkan saya sejak dulu dan juga sekarang anakku terkabulkan.
Mereknya tidak disangsikan lagi meskipun menurut literature merupakan kamera kelas pemula, tapi menurutku bagaimana orang yang menanganinya.
Kamera Digital DSLR pertamaku adalah Canon EOS 1100D termasuk yang baru muncul meskipun secara spesifikasi masih di bawah jenis kelas professional, inilah mungkin yang menjadikannya kelas pemula, tentu saja harganya pun jauh beda.
Yang jelas dengan kamera ini kemampuan kita untuk mengasah teknik foto lebih terpuaskan dengan berbagai fitur yang variatif. Kita dapat mengasah ketajaman seni foto kita lewat mode manual atau sekedar asal jadi dan bagus dengan mode otomatis.
Namun dari semua itu, tentunya belajar dari tehnik kamera manual sampai digital memiliki tantangan dan kelebihan masing-masing dan masih merupakan karya seni foto yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar