Rabu, November 16, 2011

Gunung Padang yang bukan di Padang

Belum habis Bulan Syawal berakhir dan tepatnya satu minggu setelah Idul Fitri 1432H, seperti biasa keluarga besar kami mengadakan acara kunjungan sekedar pesiar di seputar Jawa Barat.
Kebetulan karena kakakku bergelut di bidang bebatuan maka pilihan lebih cenderung ke wisata alam.Walau sebenarnya beberapa keponakan lebih keberatan dengan pilihan uwanya daripada pilihan mereka sendiri yang diinginkan, dengan alasan wisata alam atau yang menyangkut batu-batuan hanya keinginan uwa-nya saja.

Pertama, tempat yang dikunjungi adalah Stasiun KA Lampegan, sebuah stasiun tua yang telah direnovasi yang mana PT.KAI berencana mengaktifkan kembali jalur kereta tersebut dengan  trayek Ciroyom Bandung - Sukabumi, namun rencana tersebut belum terealisasi padahal jalur kereta tersebut dinilai masih layak dan akan turut mendukung perkembangan sektor-sektor lain, seperti perdagangan dan sektorpariwisata daerah Sukabumi dan Cianjur Selatan.pada khususnya.

Dengan diselingi pemandangan yang menarik di sepanjang jalur kereta ini tentunya akan sangat menarik turis-turis lokal dan mancanegara.
Selain itu dengan adanya terowongan Lampegan yang dibangun pada masa kolonial Belanda th.1879-1882 menjadi saksi sejarah yang akan turut mewarnai kesan perjalanan mereka ke tempat ini.
Kata 'Lampegan' konon muncul seiring pembangunan terowongan ini, dari kirata bahasa Sunda 'Lampe Gan', seorang mandor menawarkan lampu pada penguasa saat itu karena gelap.
Melewati perjalanan yang cukup panjang akhirnya aku sampai juga ke Situs Megalitikum Gunung Padang.Lokasi situs ini berada di ketinggian 885 m dpl, di Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur dan mulai diresmikan sebagai daerah kunjungan wisata.Akses jalan menuju situs cukup berkelok sekitar 30 km dengan kondisi jalan yang masih sebagian rusak atau memang jalan desa yang hanya bisa dilalui kendaraan roda 2. Dengan menaiki sedan dengan gardan yang cukup rendah, kami berjalan agak terseok.

Dalam beberapa menit akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Yang namanya gunung benar juga, untuk menuju ke palataran utama situs Megalitikum, kami haris mendaki  beberapa trap batu dan mengimbangi kondisiku saat itu setahap demi setahap ku berjalan, akhirnya sampai juga meskipun agak was-was.

Di atas bukit terhampar formasi batuan yang disusun secara sengaja untuk fungsi khusus, diantaranya adalah fungsi untuk beribadah dan fungsi sosial untuk berkumpul dan istirahat para pemimpinnya.
Konon seluruh gerbang masuk yang tersusun dari batu tersebut menghadap pada satu titik ke arah Gunung Gede Pangrango yang dianggap sakral.

Menurut pemandu yang menjelaskan situs tersebut "dinamakan Gunung Padang diambil dari kata 'padang' seperti 'padang bulan' artinya 'terang bulan', katanya saat bulan purnama di puncak bukit itu akan terang benderang diterangi sinar purnama, dimana masyarakat saat itu mempersembahkan sesajian untuk dewanya.
Oleh sebab itu dinamakan masyarakat sekitar mnyebutnya Gunung Padang", jadi tidak ada hubungannya dengan Kota Padang di Sumbar.

Baca Selengkapnya >>