Senin, Desember 27, 2010

Sirosis Hati dan Kopi


Kopi dapat Menekan Terjadinya Sirosis Hati Akibat Alkohol

Para ahli melaporkan kepada Reuters bahwa minum secangkir kopi setiap hari dapat mengurangi risiko terjadinya sirosis hati akibat mengkonsumsi alkohol hingga 22%.



Laporan ini disampaikan oleh Kaiser Permanente Medical Care Program, Oakland, California dimana mereka telah mempelajari data 125.580 pasien.

Data-data tersebut didukung oleh hipotesis yang mengatakan bahwa kandungan dari kopi tersebut dapat melindungi hati atau melawan terjadinya sirosis, khususnya sirosis akibat alkohol.

Meski demikian apa yang menyebabkan adanya perlindungan terhadap hati tidak diketahui, mereka mengatakan.

Kopi mengandung berbagai kumpulan bahan biologikal aktif, para ahli tersebut menjelaskan. Seringkali pula pada kopi tersebut ditambahkan krim, susu dan gula atau substansi lain yang kemungkinan besar memiliki efek kesehatan yang tinggi.

Ahli lain mengatakan bahwa kandungan cafein yang terdapat pada kopi yang memiliki peranan sebagai bahan protektif terhadap hati, meski demikian efek protektif tersebut tidak ditemukan pada mereka yang rutin mengkonsumsi teh.

Bila benar efek protektif terhadap hati dapat diperoleh dari kopi, risiko peningkatan terjadinya sirosis akibat alkohol dapat ditekan dengan cara yang mudah. Namun sampai saat ini masih dilakukan penelitian yang lebih besar lagi untuk mengetahui kandungan apa yang memiliki efek protektif serta seberapa jumlah yang harus dikonsumsi perharinya.

Sumber : IDI

Section Healthy Lifestyle - Artikel Healthy Lifestyle
Sabtu, 18 Oktober 2008 10:36
Read more about Kopi dan Sirosis Hati | Pusat Tanaman Obat dan Obat Tradisional by www.tanaman-obat.com/artikel/aneka-tanaman-obat

Baca Selengkapnya >>

Koleksi Kaset Jadoelkoe

Melongok era tahun 80’an industri musik Indonesia saat itu sedang marak-maraknya menguasai pasar kaset, dari kaset resmi yang diterbitkan sampai kaset-kaset bajakan. Merek-merek Aquarius, King, Monalisa, Billboard, Yess menguasai pasar kaset di kota Bandung dan kota-kota besar lainnya, padahal saat itu Bob Geldof sedang gencar gencarnya meneriakan anti pembajakan hak cipta dan Indonesia salah satu yang disorot sebagai gudangnya para pembajak hak cipta lagu.
Jenis-jenis musik pada era 80'an sangat beragam, dari genre pop, jazz, rock, ska, new wave, rock n’roll, blues dan belum lagi genre musik macam keroncong, dangdut, pop jawa, pop sunda, kaset lawak, sampai lagu-lagu cengeng (menurut MenPen. Harmoko pada saat itu) laris manis meski masih menguasai pasar lokal. Semakin berjalannya waktu dan ketatnya undang undang hak cipta, industri kaset banyak juga yang menghilang dari peredaran, dan produk resmilah yang bertahan di pasaran meski dengan harga yang semakin berlipat. Apalagi dengan memasuki awal tahun 90'an CDAudio telah menggantikan tempatnya, otomatis pemutar kaset pun tergantikan oleh 'CD Player' yang memiliki keluaran suara yang sangat prima, tetapi sepertinya CD tidak begitu meledak di pasaran karena harganya yang cukup tinggi.
Bahkan saat ini industri musik semakin terancam dengan munculnya CD Audio berformat MP3, WAV yang berbasiskan komputer, walkman, telepon selular sebagai alat putarnya dan semakin merajalela pula pembajakan hak cipta lagu di negeri ini.
Saat ini biarlah berjalan seiring waktu tetapi yang telah lewat tetap menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Nah sekedar bernostalgia menengok ke belakang koleksi kaset-kaset jadul kami, seperti:

KASET LAGU BARAT


KASET LAGU INDONESIA


Baca Selengkapnya >>

Minggu, Desember 26, 2010

Masa Kecil di Pasundan

Masa dimana aku sempat menempati kawasan perkotaan sejak bapak dan emih tingal di Jl.Pasundan. Nama Pasundan berasal dari keta "Pasundaan", yang berarti kawasan bermukimnya orang-orang Sunda dan budaya serta bahasa Sunda telah menjadi bahasa pengantar sehari-hari. Kami sendiri bukan urang Sunda tulen, waktu masih anak-anak bahasa pengantar masih kuat bahasa Jawa, tetapi sedikit demi sedikit bahasa sehari-hari mulai berubah menjadi bahasa Sunda, karena memang aku dan kakak ku bersekolah di SD Negeri Moh.Toha yang lebih kuat memegang budaya Sundanya. Darah Sunda kami mengalir dari ibu kami yang berasal dari Indihiyang Tasikmalaya tempat dimana nenek moyangku tinggal.
Lingkunganku berada persis di ujung jalan Pasundan (arah Jl.Ciateul ke Jl.Pungkur d/h Abdul Muis), saat itu rumahku berada pada barisan yang berdempetan pada petak kedua No.95. Petak pertama dihuni oleh seorang pengusaha kerupuk dan petak kedua dihuni oleh Ma’Icih, rumah bapak dan warung, tempatnya sangat bersahaja, tidak terbayang olehku, saat itu aku tinggal dalam sebuah gubuk dari bilik/gedek bambu, tapi yang jelas aku merasakan hangatnya tinggal dalam sebuah keluarga bersama bapak dan emih, orangtua yang aku sayangi.

Bapak mungkin menyadari kalau kondisi seperti itu berpengaruh terhadap kesehatan anak-anaknya, maka aku ingat benar kalau salah satu ruangan untuk tempat kami tidur dibuat senyaman mungkin. Kamar yang sekelilingnya hanya dari bilik bambu’ yang dicat kapur tohor putih seadanya, disulap menjadi tempat berlindung yang nyaman dan aman dari gangguan udara dan serangga. Pantesan kalau pulang kantor, bapak selalu membawa gulungan kertas singkong dan lem kanji untuk dijadikan sebagai pelapis dinding bilik bambu yang sudah mulai rapuh dan bolong, sampai lama kelamaan bilik bambu yang ditempeli bapak semakin tebal. Seolah-olah bapak telah menciptakan ruangan kulit telur sebagai tempat tidur yang nyaman untuk anak-anaknya, ditambah dengan khayalan yang diciptakan bapak melalui dongeng-dongeng tradisionalnya sebelum tidur.

Usiaku masih di bawah lima tahun, sementara adik-adik-ku si kembar masih baru bisa jalan. Dengan kondisi bapak dan Emih yang begitu bersahaja adakalanya menimbulkan rasa iba tetangga di seberang jalan, apalagi waktu itu si kembar masih sangat kecil sehingga ada saja yang membantu atau sekedar menjaga adik-adiku. Katakanlah Ibu Andung dan anak-anaknya kang Heri dan Pepen, mereka mengasuh kami dengan mengajak ke tempat tinggalnya, yang pada waktu itu tergolong besar dan berada.
Sabtu sore adalah waktu khusus yang dinanti-nanti bersama adik dan kakak-ku untuk ikut nonton TV film ‘Daktari’ di rumahnya, seperti biasa sebelumnya sengaja Emih memandikan kami  lebih awal.


Diajak Bibi Etty sekedar jalan-jalan ke alun-alun, maklum saat itu ada Bang Ikin (suami Bi Etty) lagi acara malam mingguan ke Bandung sehingga aku sering diajak, lalu pulangnya ditraktir jajanan kacang tanah rebus atau aromanis di pinggir jalan.


Bersama bapak naik sepeda ontel ke Bojongloa (kawasan perempatan Pasirkoja dan Astana Anyar), karena aku masih kecil dan kakiku takut masuk jari-jari sepeda, maka kedua kakiku diikatkan dengan kain syal ke jok sementara kakak-ku dibonceng duduk di belakangku. Waktu itu kawasan di sana terkenal dengan martabak Acep-nya dan pusat pengrajin kopor kulit (keterangan dari Emih), tapi pulangnya harus ditambah beban bawa karung beras di belakang sepeda. Bisa dibayangkan bapak mesti mengayuh sepeda dari Bojongloa, Astana Anyar, nyebrang Ottoiskandardinata ke Ciateul, lewat Moh.Toha, belok kiri ke Jl.Pasundan dan akhirnya ke rumah. Informasi terakhir yang diperoleh dari keterangan bapak sebalum wafat kalau sepeda buatan Inggris merk “Raleigh’ tersebut dihibahkan ke penjaga kantor Balai Besar PJKA, sayang memang, tapi itulah bapak. Nonton film dengan bapak ke Bioskop Kapitan gaya misbar, belakangan berganti nama menjadi Bioskop Karapitan dan kemudian Bioskop Citra, sekarang bioskop tersebut gulung tikar dan menjadi pertokoan. Dahulu diberi julukan ‘misbar’ atau gerimis bubar, karena memang bioskopnya dirancang terbuka dengan tempat duduk seadanya ala tribun beralaskan semen tanpa atap, sehingga kalau hujan gerimis saja, penonton pada bubar cari perlindungan, lucu memang. Adakalanya karena saat itu masih menggunakan proyektor sebagai pemutar film, di tengah film sedang seru-serunya tiba-tiba …prĂȘt..lampu mendadak mati dan harus istirahat kurang lebih 10 menit, mungkin lampu sorot terlalu panas atau film yang masih memakai jenis pita seluloid putus harus diganti atau disambung dahulu. 
    Begitu hangat dan perhatiannya bapak dan Emih saat itu, bagaimana aku dididik menjadi anak yang patuh dan taat kepada orang tua, segala cara dan upaya dilakukan agar aku tetap mengingat pesan-pesan yang disampaikannya sampai dewasa kelak.
    Kehidupanku terus berlanjut sampai aku masuk usia sekolah dasar, tentu saja emih memasukanku ke Sekolah Dasar Negeri yang saat itu termasuk yang terbaik dan yang pasti uang pangkal dan bayaran perbulannya sangat murah. Selain memang kakakku sudah lebih dulu sekolah di situ, jadi masih ada teman kalo berangkat sekolah. Tapi adakalanya emih telat menjemputku pulang sekolah karena ke pasar dulu untuk belanja, sehingga guru kelasku Bu Nunung harus mengantarku pulang ke rumah di Pasundan. Memang jarak rumah ke sekolahku tidak terlalu jauh sekitar 800 meter dan biasa ditempuh dengan jalan kaki melewati gang-gang kecil sekitarnya.
    Pernah suatu ketika kakakku berkelahi dengan anak sekitar karena pulang sekolah ada yang memaksa malak, meski akhirnya kami berdua lari tunggang langgang sampai rumah.
    Kehidupanku dan kenanganku di Jalan Pasundan berakhir ketika aku baru saja pulang sekolah di siang hari, banyak kerumunan orang saat itu di pinggir jalan depan rumahku dan mendapatkan tak ada satu rumahpun yang biasanya jadi tempat berteduh di situ. Semuanya sudah rata dengan tanah, disertai debu tebal dari bekas bongkaran. Aku hanya memandang salah satu benda yang paling kukenal masih berdiri ditempatnya dan belum terangkat yaitu lemari jati tua, satu-satunya sekat yang menghalangi tempat tidur kami setiap hari. Aku bingung, aku hanya menatap orang-orang yang sedang sibuk membongkar paksa semua bangunan di bilangan jalan Pasundan saat itu.
    Masih mengenakan tas dan seragam sekolah aku dan kakak-ku berlari semakin dekat  menghampiri rumahku bercampur bingung, bapak segera menggeret lenganku menyuruhku ikut tetapi karena aku tidak mengerti apa yang telah terjadi, aku  menurut saja waktu dinaikan ke atas truk, tidak tahu akan  kemana rencana bapak selanjutnya.

    Baca Selengkapnya >>

    Masa Kecil di Garuda Dalam

    Dari kecil keluarga kami berada dalam lingkungan budaya Jawa, bagaimana tidak, meskipun tinggal di Bandung keluargaku berada dalam lingkungan Jawa, Bapak asli Grantung, Purworejo, pernah tinggal dekat dengan mBah Paimo (Bulek/Paklek Bapak) yang sangat kuat memegang budaya kejawennya.

    Bapak memang asli orang Jawa, budayanya sangat kental, bahasa pengantar sehari-hari tentunya bahasa Jawa bila bergaul dengan orang jawa namun acapkali bapak tidak terlihat seperti orang Jawa, bahasa Sundanya pun lancar dan penampilannya yang putih sungguh tidak akan menyangka kalau dia orang Jawa, bahkan kadang-kadang sebagian orang menganggapnya sebagai orang Tiong-Hoa.
     Yang namanya budaya Jawa, tentu tidak akan lepas dari hal-hal yang berbau mistik atau kepercayaan kejawen, demikian juga kepercayaan yang terbawa bapakku dalam keluargaku. Pernah suatu waktu kakak-ku protes, buat apa bapak menyediakan secangkir kopi hitam, rokok kretek dan makanan kecil dalam baki di pojok kamarnya, tentunya waktu itu kakak-ku yang baru kelas 6 SD sudah mulai mengerti hal tersebut kalau hal tersebut terasa janggal dan tidak masuk akal, tapi bapak tidak marah dan hanya menjelaskan kalau sesaji itu hanyalah untuk menghormati nenek moyang kita. Kakak-ku sepertinya tidak menerima dan tidak mau mengerti penjelasan bapak, sampai suatu ketika diam-diam ia mengajakku meminum kopi yang disediakan bapak untuk sesajian di pojok kamar depan sambil bercanda kalau kopinya sudah diminum oleh Mbah dan bapak pun sepertinya mengerti apa yang dilakukan anak-anaknya, begitu juga Emih hanya terdiam, takut kalau bapak akan marah.
    Aku baru sadar kalau Mbah Paimo pun ternyata menyimpan sesuatu yang mistik dan tidak boleh dimasuki anak-anak di salah satu kamar rumahnya. Ia pernah melarangku bermain-main masuk ke kamarnya. Menurut cerita dari anak-anaknya si Mbah sengaja membuat sesajen dan setiap malam Jumat Kliwon wajib memandikan keris pusakanya, katanya sih untuk menolak bala. Belakangan diketahui dari Emih kalau keris pusakanya itu sempat dibakar Oom Ali menantunya sendiri seorang  perwira polisi dan asli orang Aceh.
    Bapak memang bukan seorang yang terlalu paham akan Islam, meski begitu ia seorang yang sangat memegang prinsip-prinsip kebenaran dan keyakinan tanpa memaksakan kehendak pribadi, seolah bapak tetap mengikuti kehidupan ini bak air mengalir, mungkin ini masih memegang prinsip si Mbah yang "Nrimo". Dibalik sifat yang 'nrimo' ini bapak ternyata masih memendam sebuah obsesi yang tentunya dijadikan motivasi dalam mendidik anak-anaknya untuk tetap bisa bertahan demi mendapatkan serta mengenyam bangku pendidikan formal di sekolah yang lebih baik.
    Motivasi itulah yang mendorong bapak untuk berusaha semampunya dalam menyekolahkan anak-anaknya, tentunya dengan menyediakan gizi makanan yang cukup, bapak sangat peduli akan hal itu.

    Baca Selengkapnya >>